Komunikasi Produktif: Terima Kasih
Berusaha menerapkan teknik komunikasi produktif selama 8
(delapan) hari ini membuat saya lebih berhati-hati dalam berkomunikasi. Dalam
artian ketika berkomunikasi, saya akan mencoba memperhatikan apakah waktu dan
tempat saya menyampaikan sesuatu hal itu tepat atau juga mengobservasi apakah
orang lain mengerti apa yang saya maksud.
Salah satu contohnya adalah penerapan kaidah 7-38-55
di mana intonasi suara dan bahasa tubuh memegang porsi lebih banyak dalam
keberhasilan berkomunikasi.
Anak kedua saya, Dzikri, tiba-tiba menangis setelah membantu
saya mengambilkan handphone di kamar.
Saya teringat untuk menghubungi suami saya sedangkan posisi saya sedang
memangku adiknya, di ruang tamu.
“Siapa ya yang bisa bantuin ibu ambil HP di kamar?”, tanya
saya kepada kedua anak saya yang sedang bermain di kamarnya, yang terletak di
sebelah ruang tamu.
Lalu berebutan lah
mereka ke kamar untuk mengambilkan.
Tak lama Dzikri datang memberikan HP. Saya yang sedang
membersihkan kuku adiknya, segera mengambil HP itu dan meletakkannya di meja.
“Makasi ya, nak”,
kata saya sambil tetap fokus membersihkan kuku adiknya.
Sekilas saya lihat Dzikri pun kembali ke kamarnya, namun
tiba-tiba terdengar suaranya menangis.
“Loh, kenapa nangis?
Reyhan coba tolong liat adek-nya, nak,
kenapa nangis”, pinta saya kepada Reyhan.
Tak lama Reyhan menghampiri saya sambil senyum-senyum.
“Buuu...kata adek,
ibu bilang makasih-nya jahat”
Haaa?? Antara
ingin tertawa gemas dan merasa bersalah saya dibuatnya. Astaghfirullah...saya
ingat-ingat memang tadi saya mengucapkan terima kasih tapi masih tetap fokus
dengan apa yang sedang saya kerjakan. Akhirnya kemudian saya memanggilnya, saya
ajak bicara dan meminta maaf, tentunya dengan intonasi suara yang lebih lembut dan juga fokus pada dirinya.
“Dzikri, ibu minta maaf ya nak..Dzikri sedih ya ibu begitu tadi? Atau marah sama ibu? Maaf ya,
ibu ga sengaja, ibu ga maksud jahat. Ibu bener-bener makasih, ibu seneng kok tadi Dzikri bantuin ibu ngambil HP, sampe
lari-lari ya, cepet-cepetan sama Ajo?”,
kata saya sambil menatapnya lembut.
Dzikri hanya diam, tapi tak juga bergeming saat saya
memeluknya.
“Sini dong, peluk
ibu. Mau maafin ibu kan”
Tak lama ia mulai tersenyum, lalu saya menggodanya agar ia
mau tersenyum dan tertawa lagi.
“Waah..liat nak, adek Rafa juga senyum-senyum tuuh. Seneng ya adek liat Paduka udah ga nangis lagi. Sini Ajo, Paduka, main sama adek Rafa”, kemudian saya mengajak
Reyhan dan Dzikri untuk bermain bersama adiknya.
gambar hasil googling di sini
Lesson learned-nya adalah bahwa apa yang kita sampaikan secara verbal belum tentu diterima dengan baik maksudnya. Akan lebih efektif ketika disampaikan dengan intonasi suara dan bahasa tubuh yang tepat. Perhatikan lawan bicaramu!
Terima
kasih ya nak sudah mengajarkan ibu bagaimana cara berkomunikasi yang baik.
#hari8
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar