Komunikasi Produktif: Aku Berani!
Cerita ini berawal dari kemarin siang saat saya melihat
sebuah kiriman salah satu grup facebook
yang membahas tentang Kartu Keluarga (KK). Saya terkejut karena tampilan KK
berubah, ada tambahan tabel golongan darah di sana. Saya juga sempat
mengkonfirmasi ke dinas terkait dan mendapatkan penjelasan langsung.
Sebelumnya,
saya pikir yang dimintakan golongan darah hanya jika akan membuat akte kelahiran,
namun rupanya keterangan golongan darah ini harus dicantumkan pada KK yang
baru. Itu artinya, seluruh anggota keluarga harus memliki dokumen terkait
golongan darah ini, sedangkan yang saya siapkan kemarin hanya untuk anak ketiga
yang akan dibuatkan akte kelahiran.
Sebenarnya saya sudah mengetahui golongan darah anak pertama
dan kedua saya, juga golongan darah suami. Tapi kami perlu kartu yang
menunjukkan hasil pemeriksaan. Karena itu, saya sibuk berpikir bagaimana cara
membujuk anak-anak agar mau diperiksa golongan darahnya. Untuk imunisasi saja
dari jauh-jauh hari saya mempersiapkan diri mereka, itupun kadang tidak
berhasil, tetap saja ada dramanya. Jadi setelah saya sampaikan ke suami tentang
informasi yang saya dapat, suami berencana mengajak anak-anak untuk segera memeriksakan
golongan darah supaya permohonan penerbitan akte kelahiran adiknya bisa segera
diajukan.
“Reyhan, Dzikri..ikut ayah ya ke klinik JNC, mau periksa
golongan darah” saya mulai membujuk mereka.
“Disuntik ya, bu?” tanya Reyhan.
“Iya, tapi ga kayak suntikan pas imunisasi. Ini jarumnya
kecil, bentuknya kayak pulpen. Ditusuknya
sedikit di salah satu jari” saya menjelaskan sambil duduk di hadapan mereka dan
mengacungkan lima jari tangan.
“Ga mau ah...sakit” teriak mereka nyaris bersamaan.
“Sakitnya cuma sedikit kok. Cuma setitik ditusuknya. Tik
gitu” saya sembari mencontohkan.
“Ga mauu, ga berani”
(Ini
di dalam pikiran saya: Naahh kaann. Slow ibuuu...terapkan teknik komunikasi produktif, ingat kaidah 7-38-55, saya berusaha mengendalikan emosi. Sabar ya buu...mari
kita ganti kata ga berani itu jadi berani (let’s see..ini tampak setipe dengan mengganti kata “tidak bisa” menjadi “bisa”),
tambahkan juga refleksi pengalaman dan
jangan lupa beri pujian jika
berhasil)
“Adek Rafa udah
periksa. Ibu yakin ajo sama padukanya juga berani. Imunisasi yang pakai jarum
lebih panjang aja udah pernah, nah
ini cuma setitik. Ibu kalau misalnya takut lihat jarum suntik biasanya tarik
nafas panjang sambil mikir ah ga sakit
kok, gitu. Nanti liat aja dulu ya
ayah diperiksanya gimana. Kesakitan apa
ngga”
Mereka berdua diam sambil melirik-lirik.
“Okeee? Berani gaaa??” tantang saya
“Iyaaa, beraniii” jawab mereka berdua.
“Kereeen...ibu seneng
Reyhan ama Dzikri ternyata anak yang berani. Nanti kalau sudah periksa kan jadi tau golongan darahnya apa...kayak adek Rafa dan ibu”
Setelahnya, mereka bersama ayahnya pergi untuk memeriksakan
golongan darah. Tapi tentu saya tetap kebagian cerita seru mereka,
“Ternyata ga sakit,
buuu”
“Aku cuma kaget dikit
aja waktu ditusuk”
“Tante yang periksa ngitungin
jari aku tau-tau aku udah ditusuk jarinya”
Dan banyak lagi detail
cerita mereka selama pergi dengan ayahnya itu, tapi semoga mereka belajar bahwa
ketakutan itu harus dilawan. Ayo berani!
#hari5
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
@institut.ibu.profesional
Komentar
Posting Komentar